Kamis, 20 Juni 2013

Interelasi Nilai jawa Islam dalam Bidang Sastra


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang

Masyarakat jawa kaya akan tradisi lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Sampai sekarang kita masih dapat menikmati berbagai khazanah budaya yang tidak ternilai harganya itu. Salah satu bentuk peninggalan itu adalah karya sastra, baik karya sastra yang hidup di kalangan masyarakat umum maupun karya sastra yang berkembang di istana. Munculnya dua istilah dalam sastra itu terjadi secara alami dan tidak disengaja, namun tercipta dari sistem sosial yang berkembang di masyarakat[1].
Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara langsung atau tidak langsung telah melahirkan berbagai kemungkinan yang dapat diinterprestasi sebagai kekayaan semesta. Setiap manusia berhak menggali, menguasai dan menghayati ragam dimensi yang tersembunyi di balik ruang dan waktu, kata-kata, metafora dan makna keindahannya, baik dalam hubungannya dengan dimensi kedalaman maupun yang se-konteks dengan pergeseran dan perubahan sosial, politik ataupun ideologi. Dengan demikian, jejak-jejak kesusastraan dalam peta sejarah peradaban umat manusia tak dapat diingkari kebergunaannya.

B.     Rumusan masalah
1.      Pengertian dan fungsi sastra.
2.      Perkembangan sastra pada masa Pra-Islam dan Islam
3.      Hubungan Islam dan Sastra Jawa


BAB II
Pembahasan

A.    Pengertian Sastra
Sastra, jika diartikan secara istilah ialah sesuatu yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasa yang luas. Menurut Teeuw (1984:23) bahwa kata satra dalam bahasa aIndonesia berasal dari bahasa Sanskerta “Sas”, yang dalam kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi. Akhiran “tra” menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk megajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan “su” (menjadi susastra). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi tentang hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ (tulisan yang indah dan sopan).
Istilah ‘sastra’ dalam bahas Inggris dikenal dengan istilah literature (latin = litere) yang menunjuk pada karya tulis yang dicetak (sebenarnya juga termasuk karya sastra yang tidak hanya ditulis, tetapi juga yang tidak ditulis/lisan).
Rene Wellek & Austin Warren (1993:3 dan 11) mengemukakan bahwa ‘sastra’ merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni, yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak, termasuk karya sastra lisan. Jadi, istilah ‘sastra’ yang terkait dengan suatu karya (=karya sastra) merupakan suatu tulisan (karya) yang sifatnya imajinatif (imajinative literature) yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra[2].
B.     Perkembangan satra pada masa Pra-Islam dan Islam

1.      Perkembangan sastra pada masa pra-Islam
Karya sastra sejarah sering disebut sebagai genre baru dalam warisan sastra Nusantara tradisional. Beberapa ahli menyebutkan bahwa jenis sastra ini muncul bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Nusantara sekitar abad 14 dan 15 Masehi.
Meskipun begitu, pernyataan itu sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena di Jawa pada masa pra-Islam sebenarnya sudah terdapat karya-karya sastra yang malah mempunyai nilai kesusastraan yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai artefak-artefak serta candi yang menyebar di seluruh pelosok Indonesia pada umumnya, dan Jawa pada khususnya.
Kami ambil sedikit contoh, kumpulan candi dan artefak yang terdapat di Borobudur merupakan salah satu bukti, bahwa sastra sebelum Islam datang-pun sudah sangat melekat dengan kehidupan masyarakat jawa saat itu. Karya sastra yang beupa cerita gambar dan tulisan pallawa pada batu-batu candi tersebut, lebih banyak menjelasakan sejarah raja-raja dan interelasi pada rakyatnya. Namun tak sedikit pula yang menjelaskan hubungan para raja dengan dewa-dewa. Lah, hal ini dapat menjelaskan bahwa sastra pada saat sebelum Islam datang lebih menceritakan dan mementingkan aspek sosial dan kemasyarakatan.
Selain contoh tersebut, contoh lain yang sampai sekarang masih terpelihara adalah adanya pembaharuan huruf pallawa, menjadi huruf jawa modern yang kita kenal sebagaimana sekarang. Huruf-huruf jawa yang disusun menjadi empat baris dalam satu bait tersebut menceritakan tentang sejarah peperangan, yang pada masa selanjutnya, cerita tentang peperangan tersebut dianggap sebagai awal sejarah asal muasal tanah Jawa.
Selain karya sastra berupa tulisan dan gambar tersebut, adapula karya sastra yang berkembang antar mulut ke mulut, bahkan hal ini lebih banyak. Faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan satra ini adalah masyarakat pedesaan, serta kaum brahmana dan petapa. Berbeda dengan karya sastra yang berupa cerita gambar dan tulisan sebagaimana kami jelaskan di atas, kandungan karya sastra ini lebih menitik beratkan pada unsur kebijaksanaan, konsep jiwa, serta hubungan antara manusia dan Tuhannya. Namun, banyak pula yang menjelaskan tentang hubungan sosial-masyarakat.
Perkembangan bidang seni sastra di Indonesia pada masa kebudayaan Hindu-Buddha, dapat kita temukan dalam bentuk sebagai berikut.

a.       Prasasti adalah batu bertulis yang menunjukkan kemajuan seni sastra berupa tulisan yang dituangkan dalam bentuk relief (seni cetak). Misal: prasasti Kedukan Bukit (683 M) di daerah Kedukan Bukit, tepi sungai Tatang, Palembang; prasasti Talang Tuo (684 M) ditemukan di Talang Tuo, Palembang; dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
b.      Masa kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7 dan ke- 8 Masehi menempatkan Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan agama Buddha. Pada masa itu ada salah seorang pendeta Buddha bernama Sakyakirti. Sakyakirti banyak memberikan bimbingan kepada murid-muridnya, antara lain I Tsing dari Cina. I-Tsing diberi tugas khusus menerjemahkan kitab suci agama Buddha.
c.       Pada zaman pemerintahan Empu Sindok (929 – 947), disusun kitab suci agama Buddha Tantrayana yang berjudul “Sang Hyang Kamahayanikan”.
d.      Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350 – 1389), yang merupakan salah satu raja Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak Hindu. Pada masa itu, Patih Gajah Mada menyusun Kitab Hukum Kutaragama. Empu Prapanca, seorang pujangga kerajaan berhasil mengarang Kitab Negarakertagama (1365). Kitab Negarakertagama berisi tentang sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit. Empu Tantular yang berhasil menulis Kitab Sutasoma.
e.       Pada zaman keemasan kerajaan Kahuripan hingga zaman kerajaan Kediri (1045 – 1222) seni sastra berkembang pesat, antara lain adanya buku-buku sastra karangan pujangga masa itu. Buku-buku sastra yang dimaksud, yaitu Kitab Smaradahana (Empu Darmaja), Kitab Baratayuda (Empu Sedah dan Empu Panuluh), Kitab Lubdhaka dan Wrata (Empu Tanakung), dan kitab Arjunawiwaha (Empu Kanwa).[3]

2.      Perkembangan sastra pada masa Islam
Pada masa Islam, sastra berkembang dengan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya karya sastra yang tercipta dari zaman walisongo periode pertama sampai sekarang. Pada masa Islam, tak banyak perubahan isi yang terdapat dalam sastra, kecuali konsep ke-Tuhanan, aspek spiritual, filsafat.
Salah satu karya yang dapat dijadikan contoh dalam membuktikan hal tersebut ialah wirid Hidayat Djati yang dikarang oleh kangjeng Raden Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan kanjeng Soesoehoenan Goenoeng Djati.  Wirid bertuliskan jawa tersebut, berisi tentang konsep ke-Tuhanan, spiritual, filsafat, serta hubungan masyarakat. Disini kami akan mencoba sedikit menjelaskan isi dan menuliskan naskah asli dari wirid tersebut[4].
.......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Latin: Gelaran Kahananing Dat. Sajatine manugsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iku rahsaning manungsa, karana ingsun anitahake adam, asal saka ing nganasir patang prakara: Bumi, Geni, Banyu, Bayu. Iku dadi kawujudaning sipating-Sun, ing kono Ingsun panjingi mudarah limang prakara: nur, rahsa, ruh, napsu, budhi. Iya iku minangka warananing wajah Ingsun kang amaha Suci[5].
Translate: Uraian Keadaan Dzat. Sebenarnya manusia itu adalah rahsa-Ku, dan Aku ini rahsa manusia, karena Aku menciptakan Adam berasal dari empat macam unsur: Tanah, Api, Air, Udara. Kesemuanya itu menjadi perwujudan sifat-Ku. Lalu Aku memasukkan ke dalam mudharah (muhdats) lima macam: nur, rahsa, ruh, nafsu, budi, yang merupakan pendinding bagi wajah-Ku yang maha suci.
            Selain berupa wirid, karya sastra jawa juga banyak yang berupa serat/pupuh/puisi[6]. Berbeda dengan wirid, bahasa pupuh lebih halus dab dalam, sehingga harus memiliki pengetahuan akan kesusastraan jawa, jika ingin memahami dan mengerti akan makna dari pupuh tersebut. Dari banyak pupuh maupun serat tersebut, yang paling terkenal adalah serat Joyoboyo yang dikarang oleh putera keraton Surakarta, Raden Ranggawarsita II. Serat tersebut adalah salah satu sastra terkenal yang memakai bahasa sastra bermajas metafora, sehingga harus berfikir beberapa kali jika ingin menafsiri sastra tersebut.
C.    Interelasi Islam dan Sastra Jawa.
Maksud hubungan antara Islam dan karya sastra Jawa adalah hubungan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya- karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansional merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran agama Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentu berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, pengetahuan ajaran Islam pada waktu itu (abad 18-19) belum banyak seperti sekarang ini sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Namun, jika dilihat secara esensial, sebenarnya karya-karya sastra pra-Islampun mengajarkan tentang islam juga. Bagaimana bisa? Karena setiap karya sastra dari masa pra-Islam pasti mengandung salah satu/semua dari unsur keharmonisan antara Alam dan manusia, kebijaksanaan, serta hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya
Kami ambil contoh, sebagaimana ajaran yang terdapat pada kitab Baghawadgita dan Tripitaka. Kitab-kitab Hindhu (Baghawadgita) dan Buddha (Tripitaka) tersebut, mengajarkan tentang keseimbangan antara alam, manusia, dan Tuhan.
Semua karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/sekar macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya. Ditambah lagi, puisi Jawa baru (tembang/sekar macapat) ini bermetrum ajaran islam. Artinya, munculnya tembang/sekar ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, tetapi terdapat kemungkinan serat-serat tersebut bisa saja muncul sebelum masa agama Islam datang ke jawa, bahkan sebelum agama Islam terbentuk. Wallahu A’lam

BAB III
Penutup
a.       Kesimpulan
Setelah mengetahui pengertian dan perkembangan sastra maupun interelasinya dengan nilai jawa, kami simpulkan bahwa sastra pada zaman pra-Islam lebih mengedepankan masalah aspek sosial dan kemasyarakatan. Namun, pada masa Islam isi dari sastra tidak mengalami perubahan yang secara menyeluruh, melainkan hanya berubah pada konsep ke-Tuhanan, aspek spiritual, filsafat saja.
b.      Saran
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. M. Darori Amin, MA. Islam & Kebudayaan Jawa (Yogyakarta, Gama Media, 2000).
Dr. Maharsi. Islam Melayu VS Jawa Islam (Yogyakarta, SUKSES Offset, 2008).
Acmad Chodjim, Syekh Siti Djenar.
Ranggawarsita, Hidayat Djati (Surakarta, Hanggoprodoto, 1941).
perkembangan-seni-rupa-sastra-dan_5249.html.
Ranggawarsita, Serat Pamuring Kawulo gusti (Surakarta, Wiryapanitra, 1983).



[1] Dr. Maharsi. Islam Melayu VS Jawa Islam. Hlm. 1.
[2] Drs. H. M. Darori Amin, MA. Islam & Kebudayaan Jawa. Hlm. 139-140.
[3] perkembangan-seni-rupa-sastra-dan_5249.html
[4] Ranggawarsita, Serat Pamuring Kawulo Gusti hal. 2
[5] Ranggawarsita, Hidayat Djati hal. 13
[6] Achmad Chodjim, Syekh Siti Djenar. Hal. 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar